(berasal dari bahasa Spanyol yang berarti Pekan Suci)
Kehadiran gereja Katolik di pulau Timor dan Solor diperkirakan terjadi
sekitar tahun 1520-an, tatkala kapal
kapal dagang Portugis selalu tiba tiap tahunnya dari dan ke Malaka untuk
perdagangan kayu cendana. Kesempatan itu oleh saudagar2 Portugis dimanfaatkan
untuk memperkenalkan dan membabtis penduduk setempat menjadi Katolik.
Dari catatan sejarah, diketahui bahwa saudagar Portugis bernama Joae Soares telah mempermandikan 200 orang di Lewonama-sebuah kampung di ujung timur pulau Flores-tidak terlalu jauh dari Larantuka. Kemudian seorang Imam Dominikan P Antonio da Taveria, OP sebagai pastor kapal Portugis telah mempermandikan sekitar 5000 orang di Pulau Timor. Ketika kapal yang ditumpanginya menyinggahi Lohayong di Pulau Solor dan Larantuka, beliau mendapati banyak orang katolik di sana dan berkesempatan mempermandikan banyak orang. Setelah kembali ke Malaka, bliau melaporkan ke Uskup Malaka, Mgr. Jorge da Santa Lucia, OP dan segera Uskup mengirim 3 Missionaris Dominikan ke Solor. Hal itu terjadi pada tahun 1561. Oleh karenanya tahun ini ditetapkan sebagai tahun resmi awal karya misi Katolik di kawasan ini.
Misi Dominikan
Gereja di zaman Misi Dominikan
mulanya berpusat di Lohayong-Solor sehingga disebut Misi Solor. Ia tumbuh seperti bunga diantara semak dan
duri karena harus menghadapi berbagai tantangan. Banyak Misionaris Portugis yang
gugur sebagai Martir, tak terhitung berapa jumlah umat katolik yang menjadi
korban.
Meskipun demikian, masih terdapat
banyak umat Katolik yang tetap bertahan
dengan kebiasaan-kebiasaan hidup rohani berkat adanya Serikat Confreria-sebuah
serikat persaudaraan bapak bapak yang dibentuk oleh Pater Dominikan di abad
XVII.
Kebiasaan merayakan Liturgi secara meriah, kebiasaan mengadakan
perarakan-perarakan dengan lagu lagu
yang mengharukan, kebiasaan menghormati Bunda Maria dengan berdoa Rosario,
kebiasaan menghormati orang kudus seperti: st. Yosef, St. Dominikan, St.
Fransiskus dan st. Antonius, semuanya
sangat membangkitkan rasa keagamaan di hati umat. Kebiasaan ini tetap hidup dan terpelihara dan
merupakan budaya umat katolik di Larantuka.
Missionaris
Dominikan lebih mengutamakan doa dan tapa yang dipusatkan pada
masa Puasa yang puncaknya pada perayaan
Pekan Suci. Pada masa ini umat berkumpul di gereja/kapela/Tori berdoa
bersama
dan melakukan tapa. Kesempatan ini
dipergunakan untuk membersihkan diri, bertobat sungguh sungguh atas
semua dosa,
memohon ampun dan memberi silih. Umat harus memulihkan hubungan dengan
Tuhan dan sesama. Masa penyucian diri secara bersama sama ini
disebut Semana Santa.
Tahun 1599 Semana Santa di
Larantuka diselenggarakan secara lebih istimewa dengan wujud khusus agar terbebas dari bahaya yang
mengancam kehidupan umat selama 7 bulan.
* Misi Jesuit
Selama +- 65 tahun berkarya di Flores, sejak 1859-1914, Jesuit telah
menandai kebangkitan gereja di wilayah bekas misi Solor dengan peningkatan mutu
iman disamping membabtis banyak umat dan mendirikan stasi stasi baru. Ketika meninggalkan kawasan ini, Jesuit telah
membentuk basis basis yang kuat di pulau Flores dengan jumlah umat lebih dari
30.000 orang atau sekitar 70% dari jumlah seluruh umat Katolik pribumi di
wilayah Hindia Belanda.
*Misi SVD
Serikat Sabda Allah (SVD) memulai karya misinya di pulau flores sejak tahun
1914 menyusul pembentukan prefektur Apostolik kepulauan Sunda kecil (=Nusa
Tenggara) yang ditangani serikat ini sejak tahun 1913.
Tugas misionaris SVD adalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Pater
Pater Jesuit. Di samping itu, para
Misionaris dikerahkan untuk mempermandikan sebanyak mungkin penduduk Flores dan
menjadikan Flores sebuah Pulau Katolik. Tahun
1951 terjadi pembentukan Vikariat Apostolik Larantuka dengan Uskup yang pertama
Mgr. Gabriek Manek, SVD yang
dikemudian hari menjadi Bapak Pendiri tarekat Putri
Reinha Rosari/PRR.
Sejarah TUAN MA
Berdasarkan penelitian beberapa sumber berbahasa Belanda dan Portugis
diperkirakan Resiona (dari larantuka) menemukan patung Tuan Ma sekitar tahun
1510 di pantai Larantuka.
Di duga, patung ‘Tuan Ma’ terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam
di perairan Larantuka. Meski belum mengenal patung itu, kepala kampung
Lewonama, Larantuka (tak diketahui namanya) memerintah agar patung itu disimpan
di rumah pemujaan (korkee’) orang
Larantuka. Penduduk memberi sesaji pada peristiwa tertentu misalkan saat
perayaan panen.
Tak lama berselang, seorang imam Dominikan yang tak diketahui namanya, tiba
di Larantuka dan menyatakan bahwa patung
itu adalah patung Bunda Maria. Pastor Ettel, SVD menulis “Tuan Ma adalah biji
gandum iman pertama yang jatuh di wilayah Flores”.
Upacara jalan salib bersama ‘Maria Mater Dolorosa’ ini dikenal dengan
sebutan ’persisan’. Malam itu, 4 (empat)
orang berperan sebagai ’Lakademu/Nikodemus yang mengusung ’Tuan Ana” (patung
Yesus dalam peti mati) melewati 8
(delapan) Armida/perhentian.
Lakademu: adalah simbol yang menguburkan Yesus setelah diturunkan
dari salib. Jati diri orang yang menjadi Lakademu selalu disembunyikan hingga
saat ini.
Saat ‘Tuan Ana’ dan ’Tuan Ma’ berhenti di armida, semua peziarah berhenti
dan mendengarkan bacaan kitab suci, doa renungan dan masuk dalam
keheningan. Dalam keheningan malam,
seorang perempuan berpakaian biru naik
ke atas bangku kecil sembari membawa
gulungan gambar wajah Yesus.
Perempuan bernama Veronica atau ’OVOS”
itu menyanyikan ratapan sedih...>”Ovos
omnes, qui transitis previam. Attendite et videte. Si est dolor sicut dolor
meus”
à( ’Hai
kamu sekalian yang sedang melintas di jalan ini, pandanglah dan lihatlah,
Apakah ada kedukaan seperti kedukaan-Ku?’
Lalu, Ovos membuka gulungan gambar dan menunjukkan wajah Yesus bermahkota duri kepada peziarah.
Usai renungan, perarakan berjalan hingga ke perhentian/armida berikut. Sebenarnya rangkaian kegiatan sudah mulai
sejak Rabu Abu, dimulai dengan mengaji
semana yaitu berdoa selama masa prapaskah yang dijalankan 13 suku di Larantuka dan berlangsung di kapela ’tuan
Ma’- setiap Jumat dan Sabtu.
Sehari sebelum memasuki trihari suci, dinamakan ’Rabu Trewa” –ini merupakan
tanda masuk masa berkabung. Pada pukul 6 sore
terdengar teriakan
’Trewa..trewa..!’ umatpun berdatangan ke gereja untuk mengikuti Lamentasi
(ratapan nabi Yeremia) di Gereja
Katedral Reinha Rosari Larantuka.
Esok paginya penduduk/umat mulai memancang kayu dan bambu (tempat lilin
selama prosesi Semana Santa) di sepanjang pinggir jalan. Kegiatan ini disebut
”tikam turo”. Kesibukan terus berlangsung dengan pembuatan armida dalam bentuk
tenda kecil berlapis kain hitam.
Kedelapan armida itu adalah:
- Misericordiae (merenungkan janji Tuhan yang mengutus putraNya ke dunia)
- Tuan Meninu (merenungkan kanak kanak Yesus)
- Santo Philipus (merenungkan masa hidup dan karya Yesus selama di dunia)
- Tuan Trewa ( merenungkan Yesus yang ditangkap dan diadili)
- Mater Dolorosa ( bersatu dengan Maria mengikuti Jalan Salib Yesus)
- Benteng Daud (merenungkan saat Yesus dijatuhi hukuman mati)
- Kuce (merenungkan Yesus yang telah wafat di kayu salib).
- Tuan Ana (merenungkan Yesus yang sudah diturunkan dari Salib).
Puncak prosesi terjadi pada Jumat Agung, setiap armida dilengkapi dengan salib yang dikeluarkan
dari ’tori’ tempat penyimpanan benda
kudus. Setelah jalan salib, benda benda kudus itu akan ditempatkan kembali ke
armida masing masing.
Prosesi mengantar ’tuan Meninu’ ke armida berlangsung menarik. Patung Yesus
tersalib ini diantar dengan ’berok’ atau sampan mengarungi laut menuju armida.
Selanjutnya para ’konfreria’
membawa patung Maria Mater Dolorosa
(Tuan Ma) keluar menuju kapela ’Tuan Ana’. Konfreria adalah serikat awam yang didirikan pastor Dominikan
abad ke-16. Menjelang sore, misa Jumat Agung digelar.
Usai prosesi cium salib, umat langsung berziarah ke kuburan yang sudah
diterangi lilin lilin, acara ini berlangsung
hingga pukul delapan malam.
Pada saat prosesi jalan salib bersama ’Tuan Ma’ dan ’Tuan Ana’,
barisan depan diisi umat pembawa salib diiringi penabuh genderang dan panji konfreria.
Benda-benda seperti paku, pemukul, tombak dan karangan bunga dibawa
sebagai lambang Yesus yang mengalami penderitaan. Iring-iringan berikutnya, kelompok peziarah
yang membawa lilin menyala.
Rombongan perarakan ’Tuan Ma dan
Tuan Ana’ berada di barisan paling belakang peziarah. Di depan Tuan Ana,
berjalan beberapa perempuan yang ditutup dengan kain hitam panjang, mereka
berperan sebagai ’eus’ atau
perempuan-perempuan Yerusalem yang meratapi kematian Yesus.
WUREH DAN KONGA
Jarak Larantuka-Wureh hanya ditempuh
sekitar 15 menit dengan perahu motor, di sini terdapat patung Yesus berdiri yang dikenal dengan sebutan ”Tuan Berdiri”
di kapela Senhor. (konon beredar cerita/legenda kisah
penampakan Tuhan Yesus pada suatu malam kepada seorang pemuda yang
sedang berjalan jalan sendirian (pikirannya sedang kalut/kusut karena
berbagai persoalan hidup yang mendera-nya).
Ketika melintasi lokasi tersebut, dia berjumpa dengan seorang pemuda
berambut panjang yang sedang menggendong seekor ayam jago. Singkat
cerita, pertemuan singkat tsb. membawa dampak positif atau pencerahan bagi si pemuda.
Dengan langkah ringan dan suasana hati yang riang gembira dia kembali ke rumah
dan bisa tidur pulas. Keesokan harinya, saat bangun dari tidurnya, pemuda tsb. teringat peristiwa yang
dialaminya semalam lalu bergegas kembali ke lokasi tempat perjumpaan-nya itu
dengan maksud ingin mengucapkan terima
kasih dan menanyakan nama dan alamat
kepada ’pemuda berambut gondrong yang menggendong ayam jago’ tsb. Ternyata setibanya di lokasi tsb. yang
ditemui hanyalah seekor ayam jago (yang dilihatnya semalam), dalam kondisi
sudah menjadi patung àyang hingga kini masih ada dan bisa dilihat di samping patung ’tuan
berdiri’.
Ada pula patung Yesus memikul salib di kapel Crus
Costa. Prosesi disini hampir sama dengan di Larantuka namun dilaksanakan
setelah prosesi di Larantuka berakhir.
Di Konga, sekitar 40 km dari Larantuka
juga terdapat prosesi yang mirip namun lebih sederhana dan hanya
terdapat enam armida.
Sejarah RATU LARANTUKA
Pada masa itu, para raja Larantuka juga memiliki semangat devosional
pada Bunda Maria. Seorang raja bernama Don
Lorenzo Diaz Viera Godinho dinobatkan sebagai raja di Gereja Larantuka
dalam perayaan ekaristi 14 september 1887 yang mana biasanya penobatan
dijalankan di ‘rumah pemali’ disertai ritus pembantaian dan minum darah kambing
dan ayam-tetapi bliau mengucapkan sumpah
di depan altar Perawan tersuci Maria. Setahun kemudian dia meletakkan tongkat
raja di altar yang sama karena memandang Maria sebagai Ratu Larantuka yang
sebenarnya.
Devosi umat Larantuka tetap berjalan pada masa karya misionaris Jesuit. Di
kemudian hari, Uskup Flores pertama, Mgr. Gabriek Manek SVD –Pendiri
tarekat Putri Reinha Rosari/PRR
menyerahkan Keuskupan Larantuka kepada Perlindungan Hati Maria yang tak
Bernoda. Setiap tanggal 7 Oktober
ditetapkan sebagai hari raya “Maria
Reinha Rosari” .
disadur dari berbagai sumber